Jika Anda berkecimpung di dunia Artificial Intelligence (AI) atau Data Science, hampir pasti bahasa pemrograman pertama yang Anda temui adalah Python.
Namun, tahukah Anda bahwa dominasi Python di dunia kecerdasan buatan bukanlah sesuatu yang direncanakan sejak awal?
Dalam sebuah wawancara mendalam, Guido van Rossum, pencipta bahasa pemrograman Python, membagikan kisah di balik layar tentang bagaimana sebuah proyek sampingan yang sederhana berubah menjadi tulang punggung revolusi AI global.
Berikut adalah rangkuman wawasan menarik dari Guido van Rossum mengenai perjalanan Python menuju puncak teknologi AI.
Banyak yang mengira Python diciptakan khusus untuk menangani data besar atau algoritma rumit. Faktanya, Guido menciptakan Python karena ia membutuhkan bahasa yang lebih mudah digunakan daripada C, tetapi lebih kuat daripada shell scripts.
Saat itu, Guido bekerja di CWI (sebuah lembaga penelitian di Amsterdam) dan menginginkan bahasa yang aman (mengatur memori secara otomatis) namun tetap terasa seperti bahasa pemrograman sungguhan.
Prototipe awal Python bahkan hanya dimaksudkan untuk membantu rekan kerjanya memproses data-data kecil. Siapa sangka, fleksibilitas inilah yang menjadi fondasi awal kekuatannya.
Salah satu alasan utama mengapa Python menjadi bahasa de facto untuk AI adalah apa yang disebut Guido sebagai efek komunitas.
Guido menjelaskan bahwa ketika sebuah komunitas spesifik (seperti bioscience, database, atau machine learning) mulai menggunakan sebuah bahasa dan merasa cocok, mereka akan terus membangun di atasnya.
Ketika perpustakaan (libraries) baru dibutuhkan, pengembang akan berpikir: "Mari kita buat ini di Python juga, karena kita bisa memanfaatkan alat-alat lain yang sudah ada di sana." Inilah yang terjadi pada ekosistem AI; para peneliti yang awalnya menggunakan Python untuk Machine Learning terus mengembangkan tools baru di ekosistem yang sama, menciptakan lingkaran inovasi yang tak terputus.
Meskipun Python tidak memiliki dukungan bawaan untuk array matematika yang kompleks pada awalnya, Guido menyoroti pentingnya ekstensi pihak ketiga. Dukungan Python yang baik terhadap ekstensi array angka (floating-point numbers) menjadi kunci vital.
Hal ini merujuk pada perpustakaan seperti NumPy dan SciPy, yang memungkinkan ilmuwan data melakukan perhitungan rumit dengan sintaks yang sederhana.
Para ahli AI saat ini akrab dengan Python karena mereka umumnya memulai karir dari bidang Machine Learning yang sudah lebih dulu mengadopsi Python.
Salah satu wawasan paling filosofis dari Guido adalah mengenai hubungan antara manusia, Python, dan AI. Guido mengakui bahwa ia tidak pernah mengantisipasi Python akan menjadi begitu penting bagi AI.
Namun, ia memiliki teori menarik: Python sangat ramah manusia (human-friendly), dan itu secara otomatis membuatnya ramah bagi AI (AI-friendly).
Mengapa?
Karena model AI (seperti LLM) dilatih untuk memproses bahasa manusia. Karena Python didesain dengan kata kunci yang mirip bahasa inggris natural (seperti if, for, not), "sel otak" yang sama yang digunakan AI untuk memahami bahasa manusia juga membantunya memahami kode Python dengan sangat baik.
Di tengah pembahasan teknis, Guido juga menyelipkan fakta jenaka. Ia menamai bahasanya "Python" bukan karena ular, melainkan karena ia adalah penggemar berat grup komedi Inggris, Monty Python.
Ia ingin nama yang pendek, unik, dan sedikit memberontak dari tradisi penamaan bahasa pemrograman yang membosankan saat itu. Nama yang mudah diingat ini ternyata menjadi salah satu faktor keberhasilan pemasaran Python di masa-masa awal.
Keberhasilan Python menjadi bahasa utama AI adalah kombinasi dari desain yang mudah dibaca, dukungan komunitas yang masif, dan ekosistem perpustakaan data yang kuat.
Seperti yang dikatakan Guido, masa depan coding dengan AI akan tetap relevan karena AI belajar dari bahasa yang paling efektif bagi manusia.
Jika Anda ingin terjun ke dunia AI, tidak ada waktu yang lebih baik untuk mulai belajar Python daripada sekarang.
Sumber Referensi: YouTube - Why Python is the language of AI: insights from Guido van Rossum